Breaking News
Loading...
  • New Movies
  • Recent Games
  • Tech Review

Recent Post

Tuesday 30 June 2015
no image

Pemberantasan Korupsi ala Negeri Ginseng Korea Selatan

Kesungguhan memberantas korupsi, mengubah budaya chonji menjadi budaya malu. Inspirasi bagi kita semua.



Adakah negara yang tak pandang bulu dalam memberantas korupsi? Adakah negara yang bisa menyeret siapapun ke pengadilan dan menghukum berat mantan presiden, mantan perdana menteri, dan bahkan putra sang presiden yang masih berkuasa? Jawabannya, ada. Korea, negeri ras kuning bekas jajahan Jepang. Dahulu orang tidak sekadar mengenalnya sebagai negeri penghasil ginseng. Sama seperti Indonesia saat ini, Korea tempo doeloe juga dikenal lantaran korupsinya yang luar biasa hebat. Predikat tak mengenakkan pun pernah disandang: sebagai salah satu negara terkorup di dunia, meski masih sedikit lebih baik dibandingkan Indonesia.

Tetapi itu dulu. Sejak akhir dekade 1990-an, Korea gencar melakukan pemberantasan korupsi. Mereka tidak hanya memiliki lembaga antikorupsi yang tangguh dan independen, namun juga ditopang kekuatan politik Negeri Ginseng itu. Adalah duet kepemimpinan Presiden Kim Daejung dan Perdana Menteri Goh Kun, yang melakukan gebrakan besar terhadap pemberantasan korupsi. Dukungan politik terhadap upaya pemberantasan korupsi pun riil, sehingga satu per satu para koruptor diseret dan diadili. Tanpa pandang bulu.

“Saya akan berusaha membebaskan negara dari korupsi selama sisa masa jabatan saya,” ujar Kim, menjelang akhir masa jabatannya. Dua mantan presiden, Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo, merasakan benar gerakan pemberantasan korupsi yang tak pandang bulu tersebut. Keduanya menjalani sidang maraton dengan dakwaan Mega korupsi. Dalam persidangan, Roh Tae Woo mengakui menerima dana siluman (slush fund) USD 650 juta untuk kampanye pemilu dari chaebol (konglomerat) dan mengantongi tidak kurang dari USD200 juta. Sedangkan Chun Doo Hwan menerima slush funds senilai USD 1 miliar (termasuk USD 287 juta dari 43 perusahaan besar).

Pada pengadilan tingkat pertama, keduanya yang juga disidang atas dakwaan kudeta (mutiny and treason) dan pelanggaran HAM juta atas pidana korupsi. Selain kedua mantan presiden tersebut, proses hukum juga menyeret konglomerat (chaebol) yang menjadi kroni penguasa. Sembilan chaebol dihukum, antara lain pendiri Daewoo Kim Woo Choong, chairman Dong-Ah Group - Choi Won Suk, pimpinan Jinro Group Chang Jin Ho, dan Chung Tae Soo dari Hanbo.

Hanya itukah? Tentu saja tidak. Yang tak kalah luar biasa adalah, sikap Kim Dae-jung ketika mengetahui bahwa kedua putranya terindikasi korupsi. Kim, yang ketika itu masih menjabat sebagai presiden juga memberikan dukungan terhadap lembaga antikorupsi dan pengadilan. Kim yang menjabat sejak 1997, memang tertampar hebat ketika pada 19 Mei 2002, polisi menangkap Kim Hong-gul, putra ketiganya dan Kim Hong-up, putra keduanya. Hong-gul menjadi tersangka kasus korupsi senilai 1,52 miliar won (sekitar Rp11 miliar) dan langsung ditahan di sel kecil di penjara Seoul. Sementara itu Kim Hong-up menjadi tersangka atas kasus korupsi yang lain.

Namun sebagai sosok pemimpin yang bertekad memberantas korupsi di Korea, Kim Dae-jung tidak hanya mendukung upaya hukum itu. Dia juga meminta maaf secara terbuka kepada seluruh rakyat. “Malam ini saya berdiri di depan segenap bangsa. Rasanya saya tidak bisa mengangkat kepala karena menahan malu. Saya malu dan merasa bersalah, karena tidak mampu mengawasi putra-putra saya secara tepat,” kata Kim Daejung. Kedua putra presiden itu akhirnya masuk penjara. Selama proses penyidikan, tak sedikit pun intervensi dilakukan istana terhadap Korean Independent Commission Against Corruption (KICAC), lembaga antikorupsi serupa KPK. Setelah peristiwa ini, berbagai jajak pendapat menyimpulkan bahwa kepercayaan rakyat Korea terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu langsung melonjak dan perilaku korup menurun.

Budaya Malu

Gebrakan pemberantasan korupsi di Korea menimbulkan decak kagum banyak negara. Bukan hanya karena sebelumnya negara kuning itu tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, namun juga lantaran budaya di sana pun, memang memberi peluang untuk melakukan korupsi.

Chonji, ya itulah budaya Korea yang sebelumnya begitu lekat, yang amat bertendensi menyuburkan korupsi. Chonji adalah kebiasaan masyarakat, yakni memberikan sedikit uang sebagai tanda terima kasih. Para pengusaha terbiasa memberikan chonji kepada pejabat atas bantuan terhadap usaha mereka. Pemberian uang juga lazim dilakukan ketika terjadi pernikahan dan kematian, dengan pemberian berlebihan. Selain itu, pemberian juga dilakukan masyarakat kepada aparat yang bertugas melancarkan persoalan administrasi, dan sebagainya. Ya, mungkin mirip-mirip di Indonesia-lah.

Dengan budaya seperti itu, memberantas korupsi jelas sebuah pekerjaan yang sulit. Hanya dengan sikap tegas Kim Dae-jung, pemberantasan korupsi sedikit demi sedikit bisa dilakukan. Siapapun yang melakukan korupsi, diajukan ke pengadilan. Tak peduli kedua anaknya tadi. Yang penting, Korea berubah dari negara yang sarat korupsi menjadi jauh lebih bersih dan bermartabat.

Lantas, apakah esensi utama dari upaya pemberantasan korupsi di Korea tersebut? Yang jelas Korea tidak mungkin mengandalkan pada dedikasi Kim semata. Yang jauh lebih penting dari itu adalah, budaya malu terhadap korupsi yang mulai ditanamkan Kim. Permintaan maafnya kepada rakyat, setidaknya menyadarkan seluruh elemen negeri ginseng terhadap pentingnya budaya malu. Dengan budaya tersebut, yang notabene merupakan sisi pencegahan, maka pemberantasan korupsi dirasa negara tersebut menjadi lebih efektif.

Budaya malu itu pula yang akhirnya menenggelamkan budaya chonji. Melalui budaya malu, akhirnya banyak terdakwa kasus korupsi di negeri itu lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Kasus bunuh diri Ahn Sang-young, walikota Pusan di penjara, adalah satu dari sekian banyak contoh. Dia mengakhiri hidupnya ketika didakwa menerima suap sebesar USD 80 ribu dari sebuah perusahan kontraktor.

Ahn Sang-young bukan satu-satunya contoh. Kasus serupa juga dilakukan Lee Joon-won, walikota Paju yang bunuh diri dengan cara melompat dari jembatan. Dia nekad mengakhiri hidupnya, diduga karena malu setelah kasus suapnya dari sebuah college lokal untuk izin pembangunan gedung baru, terungkap. “Polisi kemudian juga menemukan mayat sopir Lee, yang tampaknya berusaha menyelamatkan sang walikota,” kata televisi YTN.

Sementara itu, seorang mantan menteri perdagangan yang juga gubernur Provinsi South Cholla, Park Tae-young juga bunuh diri beberapa jam sebelum dijadwalkan tampil di depan tim penuntut yang menyelidiki korupsi. Apa yang dilakukan Park, semakin melengkapi banyaknya kasus bunuh diri setelah sebelumnya mantan eksekutif puncak Daewoo Engineering dan Construction Co, Nam Sang-kook, juga melompat ke Sungai Han dari sebuah jembatan. Sang-kook melompat ke sungai, tak
lama setelah Presiden Roh Moo-hyun secara terbuka menyebutnya terlibat dalam skandal lobi tak adil.

Sungguh, kita layak memberi acungan jempol kepada Negeri Ginseng tersebut sekaligus menjadikannya teladan.

Dukungan Rakyat Korea Kepada Presiden Kim Dae-jung untuk pemberantasan korupsi.


Powered by Blogger.
Copyright © 2014 Artikel Top Banget All Right Reserved