![no image](http://1.bp.blogspot.com/-htG7vy9vIAA/Tp0KrMUdoWI/AAAAAAAABAU/e7XkFtErqsU/s1600/grey.gif)
Pemberantasan Korupsi ala Negeri Ginseng Korea Selatan
Kesungguhan memberantas korupsi, mengubah budaya chonji menjadi budaya malu. Inspirasi bagi kita semua.
Adakah negara yang tak pandang bulu dalam memberantas korupsi?
Adakah negara yang bisa menyeret siapapun ke pengadilan dan menghukum berat
mantan presiden, mantan perdana menteri, dan bahkan putra sang presiden yang
masih berkuasa? Jawabannya, ada. Korea, negeri ras kuning bekas jajahan Jepang.
Dahulu orang tidak sekadar mengenalnya sebagai negeri penghasil ginseng. Sama seperti
Indonesia saat ini, Korea tempo doeloe juga dikenal lantaran korupsinya yang
luar biasa hebat. Predikat tak mengenakkan pun pernah disandang: sebagai salah
satu negara terkorup di dunia, meski masih sedikit lebih baik dibandingkan
Indonesia.
Tetapi itu dulu. Sejak akhir dekade 1990-an, Korea
gencar melakukan pemberantasan korupsi. Mereka tidak hanya memiliki lembaga
antikorupsi yang tangguh dan independen, namun juga ditopang kekuatan politik
Negeri Ginseng itu. Adalah duet kepemimpinan Presiden Kim Daejung dan Perdana
Menteri Goh Kun, yang melakukan gebrakan besar terhadap pemberantasan korupsi. Dukungan
politik terhadap upaya pemberantasan korupsi pun riil, sehingga satu per satu
para koruptor diseret dan diadili. Tanpa pandang bulu.
“Saya akan berusaha membebaskan negara dari korupsi
selama sisa masa jabatan saya,” ujar Kim, menjelang akhir masa jabatannya. Dua
mantan presiden, Chun Doo Hwan dan Roh Tae Woo, merasakan benar gerakan
pemberantasan korupsi yang tak pandang bulu tersebut. Keduanya menjalani sidang
maraton dengan dakwaan Mega korupsi. Dalam persidangan, Roh Tae Woo mengakui
menerima dana siluman (slush fund) USD 650 juta untuk kampanye pemilu dari
chaebol (konglomerat) dan mengantongi tidak kurang dari USD200 juta. Sedangkan
Chun Doo Hwan menerima slush funds senilai USD 1 miliar (termasuk USD 287 juta
dari 43 perusahaan besar).
Pada pengadilan tingkat pertama, keduanya yang juga
disidang atas dakwaan kudeta (mutiny and treason) dan pelanggaran HAM juta atas
pidana korupsi. Selain kedua mantan presiden tersebut, proses hukum juga
menyeret konglomerat (chaebol) yang menjadi kroni penguasa. Sembilan chaebol dihukum, antara
lain pendiri Daewoo Kim Woo Choong, chairman Dong-Ah Group - Choi Won Suk,
pimpinan Jinro Group Chang Jin Ho, dan Chung Tae Soo dari Hanbo.
Hanya itukah? Tentu saja tidak. Yang tak kalah luar
biasa adalah, sikap Kim Dae-jung ketika mengetahui bahwa kedua putranya
terindikasi korupsi. Kim, yang ketika itu masih menjabat sebagai presiden juga
memberikan dukungan terhadap lembaga antikorupsi dan pengadilan. Kim yang
menjabat sejak 1997, memang tertampar hebat ketika pada 19 Mei 2002, polisi
menangkap Kim Hong-gul, putra ketiganya dan Kim Hong-up, putra keduanya.
Hong-gul menjadi tersangka kasus korupsi senilai 1,52 miliar won (sekitar Rp11
miliar) dan langsung ditahan di sel kecil di penjara Seoul. Sementara itu Kim
Hong-up menjadi tersangka atas kasus korupsi yang lain.
Namun sebagai sosok pemimpin yang bertekad memberantas
korupsi di Korea, Kim Dae-jung tidak hanya mendukung upaya hukum itu. Dia juga
meminta maaf secara terbuka kepada seluruh rakyat. “Malam ini saya berdiri di
depan segenap bangsa. Rasanya saya tidak bisa mengangkat kepala karena menahan
malu. Saya malu dan merasa bersalah, karena tidak mampu mengawasi putra-putra
saya secara tepat,” kata Kim Daejung. Kedua putra presiden itu akhirnya masuk penjara.
Selama proses penyidikan, tak sedikit pun intervensi dilakukan istana terhadap
Korean Independent Commission Against Corruption (KICAC), lembaga antikorupsi
serupa KPK. Setelah peristiwa ini, berbagai jajak pendapat menyimpulkan bahwa kepercayaan
rakyat Korea terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi tanpa pandang
bulu langsung melonjak dan perilaku korup menurun.
Budaya Malu
Gebrakan pemberantasan korupsi di Korea menimbulkan
decak kagum banyak negara. Bukan hanya karena sebelumnya negara kuning itu
tercatat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, namun juga lantaran budaya
di sana pun, memang memberi peluang untuk melakukan korupsi.
Chonji, ya itulah budaya Korea yang sebelumnya begitu
lekat, yang amat bertendensi menyuburkan korupsi. Chonji adalah kebiasaan
masyarakat, yakni memberikan sedikit uang sebagai tanda terima kasih. Para
pengusaha terbiasa memberikan chonji kepada pejabat atas bantuan terhadap usaha
mereka. Pemberian uang juga lazim dilakukan ketika terjadi pernikahan dan
kematian, dengan pemberian berlebihan. Selain itu, pemberian juga dilakukan masyarakat
kepada aparat yang bertugas melancarkan persoalan administrasi, dan sebagainya.
Ya, mungkin mirip-mirip di Indonesia-lah.
Dengan budaya seperti itu, memberantas korupsi jelas
sebuah pekerjaan yang sulit. Hanya dengan sikap tegas Kim Dae-jung, pemberantasan
korupsi sedikit demi sedikit bisa dilakukan. Siapapun yang melakukan korupsi,
diajukan ke pengadilan. Tak peduli kedua anaknya tadi. Yang penting, Korea
berubah dari negara yang sarat korupsi menjadi jauh lebih bersih dan
bermartabat.
Lantas, apakah esensi utama dari upaya pemberantasan
korupsi di Korea tersebut? Yang jelas Korea tidak mungkin mengandalkan pada
dedikasi Kim semata. Yang jauh lebih penting dari itu adalah, budaya malu terhadap
korupsi yang mulai ditanamkan Kim. Permintaan maafnya kepada rakyat, setidaknya
menyadarkan seluruh elemen negeri ginseng terhadap pentingnya budaya malu. Dengan
budaya tersebut, yang notabene merupakan sisi pencegahan, maka pemberantasan
korupsi dirasa negara tersebut menjadi lebih efektif.
Budaya malu itu pula yang akhirnya menenggelamkan
budaya chonji. Melalui budaya malu, akhirnya banyak terdakwa kasus korupsi di
negeri itu lebih memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Kasus bunuh diri Ahn Sang-young,
walikota Pusan di penjara, adalah satu dari sekian banyak contoh. Dia mengakhiri
hidupnya ketika didakwa menerima suap sebesar USD 80 ribu dari sebuah perusahan
kontraktor.
Ahn Sang-young bukan satu-satunya contoh. Kasus serupa
juga dilakukan Lee Joon-won, walikota Paju yang bunuh diri dengan cara melompat
dari jembatan. Dia nekad mengakhiri hidupnya, diduga karena malu setelah kasus
suapnya dari sebuah college lokal untuk izin pembangunan gedung baru, terungkap.
“Polisi kemudian juga menemukan mayat sopir Lee, yang tampaknya berusaha menyelamatkan sang walikota,” kata televisi YTN.
Sementara itu, seorang mantan menteri perdagangan yang
juga gubernur Provinsi South Cholla, Park Tae-young juga bunuh diri beberapa jam
sebelum dijadwalkan tampil di depan tim penuntut yang menyelidiki korupsi. Apa
yang dilakukan Park, semakin melengkapi banyaknya kasus bunuh diri setelah
sebelumnya mantan eksekutif puncak Daewoo Engineering dan Construction Co, Nam
Sang-kook, juga melompat ke Sungai Han dari sebuah jembatan. Sang-kook
melompat ke sungai, tak
lama setelah Presiden Roh Moo-hyun secara terbuka menyebutnya
terlibat dalam skandal lobi tak adil.
Sungguh, kita layak memberi acungan jempol kepada Negeri
Ginseng tersebut sekaligus menjadikannya teladan.